
Jakarta, suarapika.id– Sudah enam bulan lebih, para korban dugaan penipuan investasi bodong, menunggu kepastian dikirimkannya Putusan dari Mahkamah Agung (MA). Para korban dari pialang Guardian Capital Group (GCG) Asia itu sudah sejak tahun 2019 lalu mengikuti proses persidangan.
Hingga diputuskannya bahwa GCG Asia itu bersalah, karena telah melakukan serangkaian investasi bodong kepada ribuan Warga Negara Indonesia (WNI).
Bambang Djaya, salah seorang perwakilan korban, menyampaikan, putusannya sudah di MA. Putusan kasasi itu masih tertahan di MA. “Sudah lebih enam bulan ini, kami menanyakan ke MA, kapan putusan itu dikirimkan untuk dieksekusi,” tutur Bambang Djaya, kepada wartawan, Minggu (18/07/2021).
Kegembiraan para korban bahwa para pelaku investasi bodong ala GCG Asia itu sudah diputuskan di tingkat Kasasi, masih menyisakan sejumlah kendala teknis.
Putusannya tak kunjung dikirimkan, dan tak kunjung dieksekusi. Bambang Djaya menyebut, ribuan korban seperti dirinya, yang tersebar di seluruh Indonesia, menantikan keadilan. Anehnya, kata dia, mereka para korban sudah berkali-kali mendatangi MA dan instansi Penegak Hukum yang lain, agar dipercepat proses pengiriman putusan. Namun, tak kunjung digubris.
Serta, lanjut Bambang, para korban juga sudah meminta agar dipercepat eksekusinya. Sebab, di masa pandemi Covid-19 ini, hampir semua korban sangat membutuhkan kepastian.
Sehingga nantinya keberlanjutan hidup bisa dilakukan dengan mempergunakan pengembalian investasi itu kepada mereka.
Sungguh mengagetkan, ungkap Bambang, dalam proses memastikan putusan MA itu agar segera dikirimkan, para korban malah dimintai sejumlah uang. Dengan alasan sebagai pelicin agar mempercepat putusan diterbitkan.
Bambang Djaya dkk pun menolak. Sebab, diduga memang masih banyak jaringan mafia hukum yang bermain di lingkaran MA dan instansi penegak hukum yang lain. “Katanya kepastian hukum, proses persidangan dan putusan harus cepat, terjangkau.
Tapi kami malah disuruh membayar lagi hingga ratusan juta rupiah. Hanya untuk putusan Kasasinya segera dikirimkan?” keluhnya.
Bambang Djaya menceritakan, sejak mulai bergulirnya laporan mereka di tingkat penyidik, para korban selalu diperhadapkan dengan berbagai-bagai kerumitan proses hukum.
Padahal, kata dia, ujung-ujungnya adalah untuk meminta uang pelicin. Itulah bentuk praktik mafia hukum yang masih berlangsung hingga kini. “Bisa dihitung berapa banyak uang yang keluar mulai dari proses awal hingga putusan ini.
Padahal, kami ini korban. Para korban yang meminta kepastian hukum dan keadilan,” ujarnya.
Bambang Djaya mengungkapkan, dirinya dan sejumlah korban lainnya, kerap didatangi dan dihubungi oleh orang-orang yang mengaku sebagai bagian dari penegak hukum di MA. Tujuannya, meminta uang untuk melancarkan pengiriman putusan dari MA. “Mending mintanya sesuai. Ini sampai ratusan juta.
Berapa sih untuk nge–print dan mengirimkan putusan? Apakah sampai ratusan juta rupiah? Kami ini korban, sudah habis-habisan, namun masih saja dibegitukan,” bebernya.
Bambang Djaya enggan menyebut satu per satu pihak-pihak yang mengaku sebagai kaki tangan mafia hukum itu. Yang pasti, katanya, kondisi itu sudah disampaikan kepada para atasan dan pimpinan Aparat Penegak Hukum (APH).
“Bahkan, keluhan kami ini sudah kami sampaikan dengan menggelar unjuk rasa berkali-kali di depan Kantor MA. Menyampaikan kondisi yang kami alami. Namun, sampai kini tidak ada jawaban,” lanjutnya.
Jika kondisi teknis dan proses hukum yang selalu bertele-tele dan sarat dengan praktik mafia hukum, lanjut Bambang Djaya, maka visi misi Presiden Joko Widodo yang mengedepankan hadirnya kepastian hukum, dengan cepat, terjangkau dan berkeadilan, hanyalah omong kosong belaka.
“Hidup masyarakat, terutama para korban sedang turut susah karena pandemi Covid-19. Kok tega-teganya masih dipermain-mainkan,” ujar Bambang.
Para korban pun meminta, Presiden Joko Widodo harus mendengarkan keluhan masyarakat pencari keadilan. Kiranya, kata Bambang, Ketua MA dan Presiden Jokowi menginstruksikan agar APH secara tegas dan massif memberantas praktik mafia hukum di Indonesia.
“Kami berharap, Pak Jokowi mendengar keluhan kami para korban ini. Demikian juga para petinggi Aparat Penegak Hukum di Indonesia, kiranya benar-benar melakukan pemberantasan praktik mafia hukum dan peradilan, di Indonesia yang kita cintai ini,” tandas Bambang Djaya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, yang kini menjadi Menkopolhukam, pernah menyampaikan, agar dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk menyelamatkan kondisi peradilan Indonesia.
Bahkan, Hakim Agung MA Gayus Lumbuun pun sangat setuju dengan ide yang dilontarkan Mahfud MD itu. “Perpu ini harus memuat pola promosi dan mutasi para hakim,” ujar Gayus Lumbuun.
Menurutnya, dari data yang ada, MA membawahi 8.042 orang hakim, 50-an Hakim Agung di tingkat MA, 9.291 panitera dan 14.869 PNS yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mereka tersebar di 30 pengadilan tingkat banding, dan 352 pengadilan tingkat pertama. Menurutnya, untuk mengubah aparat pengadilan, diperlukan Perpu yang mengatur perubahan di pengadilan secara revolusioner.
“Perpu ini tidak akan mencampuri kasus per kasus perkara atau teknis yudisial. Jadi tidak akan merongrong lembaga yudikatif. Perpu itu nantinya mengatur tata kelola MA dengan melibatkan Komisi Yudisial (KY),” ujar Gayus.
Gayus sangat menyesalkan masih ditemukannya praktik-praktik mafia hukum di MA. “Seluruh masyarakat pencari keadilan termasuk aparatur di MA semestinya memiliki rasa sensitivitas terhadap perlunya pembenahan untuk memperbaiki kondisi peradilan ke masa depan,” ujar Gayus Lumbuun. [Jon]