
Jakarta, suarapika.id – Para nelayan Indonesia, khususnya dari Kawasan Indonesia Timur (KTI) menawarkan solusi untuk mengatasi defisit anggaran Negara yang terkoyak-koyak akibat pandemi Covid-19. Ketua Perikanan dan Nelayan Dewan Ekonomi Indonesia Timur (DEIT), Siswaryudi Heru menyampaikan, sektor nelayan dan kelautan, khususnya dari Kawasan Indonesia Timur bisa menjadi salah satu tulang punggung mengatasi defisit anggaran yang dialami oleh Indonesia di masa pandemi Covid-19 ini.
Sebab, menurut dia, hasil laut dan tangkapan ikan nelayan Indonesia masih sangat melimpah, khususnya di Indonesia Timur. “Jadi, di saat anggaran Negara kita terkoyak-koyak oleh Covid-19 ini, ada beberapa peluang yang bisa mengatasinya. Saatnya, beberapa peraturan yang dibuat oleh Pemerintah, seperti pelonggaran aturan penggunaan Kapal tangkap ikan bagi nelayan kita, perlu digalakkan. Khususnya, untuk Kawasan Indonesia Timur,” tutur Siswaryudi Heru, di Jakarta, Jumat (29/01/2021).
Siswaryudi Heru yang juga Wakil Ketua Komite Tetap Hubungan Antar Lembaga Dewan Pengurus Pusat Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Wakomtap Kadin) ini menyebut, jika diberdayakan dengan optimal, nelayan Indonesia akan mampu menangkap ikan dengan melimpah di laut Indonesia.
Memang, lanjutnya, laut Indonesia memiliki ombak yang besar. Secara khusus di wilayah Timur Indonesia, lautnya sangat dalam, berombak sangat besar, dan wilayahnya yang sangat sulit dijangkau dengan kapal-kapal biasa. Padahal, di sana, ikan dan hasil laut masih sangat melimpah, yang bisa dimanfaatkan untuk memutar roda perekonomian Nasional. “Jadi, sebaiknya dipermudah juga ijin kapal-kapal penangkap ikan, sampai dengan yang ukuran 300 Gross Tone, untuk beroperasi di Indonesia Timur. Sebab, di sana, medannya sangat keras dan berat,” tuturnya.
Dengan demikian, menurut Siswaryudi Heru, pendapatan dan devisa negara bisa didongkrak dari sektor nelayan, perikanan dan kelautan. “Lagi pula, dengan kapal ukuran 300 GT itu, nelayan tradisional Indonesia tidak akan terganggu. Sebab, nelayan tradisional kita tidak akan sanggup menangkap ikan di wilayah yang berat dan ber-medan sulit seperti itu. Mereka tetap aman di wilayah jangkauan mereka saja,” lanjut Siswaryudi Heru.
Lebih lanjut, Siswaryudi Heru yang juga Wakil Ketua Komite Tetap Hubungan Antar Lembaga Dewan Pengurus Pusat Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Wakomtap Kadin) ini mengingatkan, meski dibuka kelonggaran bagi kapal berukuran 300 GT, Pemerintah mesti melakukan pengawasan yang sangat ketat. Untuk menghindari terjadinya penyelewengan di laut. “Tentu harus dengan pengawasan dan aturan yang ketat. Seperti juga menerapkan pajak yang tinggi. Sehingga, itu juga bisa menjadi pemasukan devisa negara,” jelasnya.
Potensi ini harusnya menjadi salah satu langkah yang segera dilakukan Pemerintah. Selain itu, Siswaryudi Heru juga menawarkan, agar Pemerintah membuat ijin ekspor hasil hutan, seperti kayu gaharu, kayu hitam dan lain-lain, guna menambah devisa Negara. “Tetap dengan pengawasan yang ketat dan juga penerapan pajak yang tinggi. Sehingga itu diperuntukkan mengisi kas Negara yang sedang defisit saat ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut, realisasi pendapatan negara hingga akhir Desember 2020 tercatat sebesar Rp1.633,6 triliun, dari target APBN sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020.
Realisasi ini lebih rendah Rp327 triliun dari tahun 2019 atau lebih rendah Rp599,6 triliun dari target APBN 2020. Angka ini adalah 96,1 persen dari target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 72 Tahun 2020 dan 16,7 persen di bawah realisasi 2019.
Hal ini disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers APBN KiTa secara virtual, Rabu (6/1/2021). “Itu adalah shock dari kombinasi penerimaan pajak yang turun dan insentif yang kita berikan untuk membantu sektor usaha,” ujar Sri Mulyani.
Adapun, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak tercatat Rp 1.070 triliun atau 89,3 persen dari target di Perpes No.72 Tahun 2020 dan 19,7 persen di bawah pencapaian tahun 2019. Penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat Rp212,8 triliun, atau 3,5 persen di atas target di Perpres No 72 Tahun 2020 dan 0,3 persen di bawah realisasi 2019.
Lebih lanjut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah Rp 338,5 triliun. PNBP mencapai 115,1 persen dari target Perpres No 72 Tahun 2020, namun 17,2 persen di bawah 2019. Sementara itu, di sisi belanja negara, Sri Mulyani menyampaikan total belanja negara sepanjang 2020 mencapai Rp 2.589,9 triliun, atau 94,6 persen dari target atau meningkat 12,2% dari posisi 2019.
Belanja negara naik 12,2 persen dari realisasi 2019 yang didukung oleh kebijakan refocussing atau realokasi anggaran belanja Kementerian dan Lembaga, serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Realokasi belanja, menurut Sri Mulyani, diarahkan untuk mendukung penanganan Covid-19 dan dampaknya terhadap masyarakat dan dunia usaha sebesar Rp579,8 triliun yang dituangkan dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Sri Mulyani mengatakan, kenaikan belanja negara ini didorong oleh belanja Pemerintah Pusat yang tercatat sebesar Rp1.827,4 triliun atau 92,5 persen dari target di Perpres 72 Tahun 2020 dan 22,1 persen di atas realisasi 2019. Adapun, realisasi transfer ke daerah dan dana desa selama 2020 mencapai Rp762,5 triliun atau 99,8 persen dari target dan 6,2 persen lebih rendah dari realisasi 2019.
Dengan demikian, defisit anggaran pada APBN 2020 tercatat Rp956,3 triliun atau 6,09 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini lebih rendah dari sasaran di dalam Perpres 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.039,2 atau 6,34 persen PDB.
“Dengan demikian keseimbangan primer kita juga mengalami lonjakan dari semula kita desain Rp12,2 triliun menjadi Rp642,2 triliun,” ujar Sri Mulyani. Menurutnya, realisasi ini menunjukkan bahwa APBN telah bekerja luar biasa sehingga APBN harus dijaga ke depannya. “Ini yang menjadi desain konsolidasi tetapi mendukung pemulihan,” tandas Sri Mulyani. [Jon]