
Jakarta, suarapika.id – Dalam rangka menyambut usia yang ke-20 tahun sekaligus dua dekade perjalanan otonomi daerah, KPPOD menggelar otonomi talk bertajuk “Kolaborasi Sektor Privat dan Publik: Mampuhkah Mencapai Ultimate Goal Otonomi Daerah?”. Turut hadir dalam diskusi, I Kadek Dian Sutrisna Artha (Chief Economist PT Sarana Multi Infrastruktur), Prof. Bambang Juanda (Guru Besar FEM IPB) Warman Syanudin (Kepala BPKAD Kota Tangerang Selatan); Aziz Zulfikar (Biro Otda Provinsi Jawa Barat); dan Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif KPPOD, Arman Suparman.
Diskusi dipandu oleh Analis Kebijakan KPPOD, Sarah Hasibuan. Tujuan diskusi ini adalah menggali perspektif dan ekspektasi stakeholders terkait kemandirian daerah & ultimate goal Otonomi Daerah dalam implementasi desentralisasi fiskal.
Prof. Bambang dalam paparannya menekankan bahwa keleluasaan Pemda dalam PKD seharusnya mampu mendukung upaya kemandirian fiskal daerah. Menurut beliau, Belanja daerah msh terpengaruh dinamika politik sehingga tidak optimal dalam pencapaian sasaran pembangunan berkualitas yang mndukung peningkatan PAD berkelanjutan (kemandirian fiskal). “Dengan diberlakukannya UU Ciptaker, perlu juga untuk ditindaklanjuti oleh Pemda”, kata Prof. Bambang. Guru besar IPB ini menyampaikan bahwa kedepannya perlu ada evaluasi terkait penyerahan dana otonomi khusus guna menjamin kebermanfaatanya bagi masyarakat.
Pelaksana Direktur Eksekutif KPPOD, Arman Suparman menyebutkan bahwa terdapat fokus pekerjaan yang perlu dijadikan prioritas oleh pemerintah daerah. Prioritas tersebut meliputi Peningkatan digitalisasi adminitrasi perpajakan daerah, Perkuat kapasitas & integritas pemda melalui perpaduan kerja fasilitasi, supervisi dan sanksi. Terkait praktik di daerah, temuan di beberapa kota menunjukkan bahwa beberapa daerah berani melakukan elektronifikasi pemungutan pajak yang akhirnya berdampak meningkatkan PAD.
Arman juga menekankan bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi terkait regulasi PDRD di tingkat pusat. “Beberapa ketentuan di dalam dalam undang-undang 28 tahun 2009 tidak mengakomodir beberapa perkembangan yang terjadi dalam 10 tahun terakhir dan terdapat perubahan yang perlu direspon”, tegas Arman.
Selain itu, Chief Economist PT SMI, I Kadek Dian Sutrisna Artha membuka paparannnya dengan standing point yang menegaskan bahwa terjadi ketimpangan secara ekonomi di Indonesia dimana pertumbuhan ekonomi berpusat di Jawa. Kadek menyampaikan bahwa hampir seluruh Kota dan Kabupaten yang diamati mengalami penurunan rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah. Pemberian budget support kepada daerah-daerah yang kondisi fiskalnya terdampak Covid-19 dapat menjadi salah satu solusi sehingga pemerintah daerah tetap dapat mempertahankan pelayanan publik pada masa pandemi serta melakukan ekspansi fiskal.
“Dalam pelaksanaan otonomi daerah kedepann, daerah bisa meningkatkan peran dari spending kebijakan fiskalnya kepada peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatlkan pendapatan asli daerah dan ketergantungan terhadap pusat akan mengalami penurunan”, tutup Kadek.
Perwakilan pemerintah daerah juga turut memberikan pendapat mereka terkait refleksi 20 tahun desentralisasi fiskal dalam diskusi hari ini. Warman (DPKAD Kota Tangsel) menyampaikan bahwa Tangsel hampir berkurang karena covid, hal itu disebabkan oleh adanya kebijakan refocusing dan realokasi. “Terkait dana pusat ,Tangsel dengan adanya kebijakan Kemenkeu agak sedikit mempengaruhi akibat adanya realokasi”, tegas Warman.
Tantangan fiskal lainnya disampaikan oleh Aziz Zulfikar (Biro Otda Jabar) berupa kondisi demografis yang besar. “Hal inilah yang kami harapkan untuk pemerintah pusat adanya konsep keadilan (DAK) dari sisi jumlah penduduk karena jumlah penduduk di Jawa Barat sudah hampir (menyentuh) 50 juta, dengan keterbatasan yang ada, DAK atau DAU yang diterima dihitung berdasarkan Kabupaten/Kota, bukan berdasarkan jumlah penduduk”, jelas Aziz. [Uya Pinta]