Bangun Sistem Perlindungan Kokoh bagi Anak dengan Disabilitas

Jakarta, suarapika.id – Anak dengan disabilitas rentan mengalami kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Elvi Hendrani menyebut di tengah pandemi Covid-19, kerentanan tersebut bahkan berkali lipat berpotensi dialami anak dengan disabilitas.

“Anak-anak termasuk anak penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan terkena dampak pada pandemi Covid-19. Namun, dalam situasi darurat bencana termasuk pandemi anak-anak disabilitas mempunyai kerentanan tiga (3) kali lipat mengalami kekerasan, eksploitasi, termasuk kehilangan pengasuhan atau penelantaran dibandingkan anak-anak pada umumnya,” ujar Elvi Hendrani dalam kegiatan Serial Live Consultation Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas, dengan tema “Perlindungan Anak Disabilitas Dari Kekerasan di Masa Pandemi Covid-19”.

Berdasarkan data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI) per 30 Maret 2021, ada sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak mengalami kekerasan.

Elvi menegaskan orang tua atau pengasuh sebagai bagian terdekat dari anak penyandang disabilitas memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Diharapkan mereka memiliki pengetahuan dan informasi yang luas mengenai langkah tepat dalam mencegah kekerasan bagi anak penyandang disabilitas terutama dalam masa pandemi Covid-19.

“Orangtua atau pengasuh tentu saja semua harus memiliki ilmu agar mempunyai wawasan yang cukup untuk melindungi anak dengan disabilitas dari berbagai macam bentuk kekerasan maupun eksploitasi,” tambah Elvi.

Kemen PPPA memastikan setiap anak mendapat perlindungan tanpa terkecuali, termasuk pada kelompok anak dengan disabilitas. Elvi menerangkan Serial Live Consultation yang digelar Kemen PPPA guna memberi kesempatan bagi para orang tua untuk berkonsultasi terkait tantangan yang dihadapi serta solusi terbaik dan tepat dalam upaya melindungi anak penyadang disabilitas dari resiko mengalami segala bentuk kekerasan.

See also  Capaian Program Unggulan Komoditi Pertanian Sulut Tetap Survive

“Ini juga menjadi salah satu tantangan kita semua, minimnya kemampuan anak disabilitas untuk mengenali ancaman dan cara melindungi dirinya juga tidak dibangun dengan baik oleh para orang tua atau pengasuh. Anak perlu mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk hidup mereka supaya mereka mandiri, tarena tujuan kita mendampingi anak-anak disabilitas agar mereka bisa mandiri,” jelas Elvi.

Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya, Prof Irwanto membenarkan bahwa anak adalah pihak yang paling rentan. Kondisi fisik dan strata anak yang dianggap lebih kecil oleh masyarakat ternyata tetap menjadikan mereka obyek kekerasan dan eksploitasi oleh orang dewasa. Oleh karena itu, Irwanto menegaskan perlu perubahan paradigma dan cara pandang yang melihat anak bukanlah objek tapi dilibatkan sebagai subjek dalam kehidupan sosial.

“Ada pekerjaan besar terutama di public policy (kebijakan publik) kita untuk mengenalkan dan memberikan pemahaman lebih luas mengenai disabilitas. Semakin banyak forum yang mengikutsertakan anak ikut berbicara memperkenalkan hidup mereka seperti apa ini akan semakin baik. Tetapi anak-anak ini harus disiapkan dengan baik agar mereka bisa dialog,” ujar Irwanto.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Bahrul Fuad mengingatkan seluruh pihak termasuk orang tua maupun pengasuh agar mengenali sejumlah faktor pemicu kerentanan anak dengan disabilitas mengalami kekerasan, salah satunya karena besarnya ketergantungan pada orang lain.

“Kekerasan terhadap anak dengan disabilitas itu terkait dengan keterbatasan fisik atau mental yang dimiliki. Kondisi tersebut membuat anak memiliki ketergantuangan pada orang lain. Ada tiga jenis ketergantungan seperti ketergantungan fisik, ketergantungan psikis dan ketergantungan finansial. Ketergantungan inilah yang kemudian menciptakan kerentanan yang kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku kekerasan untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau perempuan dengan disabilitas,” ungkap Fuad.

See also  Lukas Enembe : “Merah Putih” Masih Terjahit Rapih Menyelimuti Hati Saya

Fuad menambahkan, ada faktor-faktor lain yang juga berperan melanggengkan potensi kekerasan terhadap anak dengan disabilitas apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19. Seperti minim bahkan tidak adanya akses pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Stigma sosial atau ekslusi sosial hingga sistem hukum yang tidak berpihak pada disabilitas.

“Anak-anak kita tidak pernah diajari atau dididik tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Jadi ada keyakinan di keluarga tapi sebenarnya juga secara umum bukan hanya pada anak dengan disabilitas, masyarakat kita masih memandang tabu pendidikan seksualitas. Padahal pendidikan seksualitas itu penting untuk membekali anak supaya dia tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan terkait dengan seksualitas,” tambah Fuad.

Farid berharap masyarakat juga masyarakat dapat peka dan lebih mampu menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah disabilitas, sebab akibat ketidaktahuan atau keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap disabilitas justru menyebabkan disabilitas mengalami eksklusi sosial. Sistem hukum dana aparat penegak hukum (APH) memiliki perspektif terkait dengan keberpihakan kepada korban yang memiliki disabilitas agar mereka tidak mengngalami kendala dalam pelaporan. [Kemenpppa]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *